BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG MASALAH
Euthanasia
merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial, sehingga melibatkan
banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro dan
kubu yang kontra.
Di
dalam Al qur’an surat Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati
adalah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan
ketaatan manusia terhadap Tuhan. Untuk melindungi keselamatan hidup dan
kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma hukum perdana dan
perdata beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia berupa
hukuman had dan qisas termasuk : hukuman mati, diyat (denda), atau
ta’zir,yakni hukuman yang ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan,
maupun hukuman di akhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak. Karena
hidup dan mati ditangan Tuhan, maka islam melarang orang melakukan
pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.[1]
كل نفس ذائقة الموت ......
الآية (آل عمران:185)
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati”
Istilah
eutanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya
yang berjudul sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun
400-300 SM. Dalam supahnya tersebut Hippokrates menyatakan; "Saya
tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun
meskipun telah dimintakan untuk itu". Dari dokumen tertua tentang
eutanasia di atas, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan
oleh Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek eutanasia. Sejak abad
ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika
Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia
mulai diberlakukan di Negara bagian New York, yang pada beberapa tahun
kemudian diberlakukan pula oleh beberapa Negara bagian. Setelah masa Perang
Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia
secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk
di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang
memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan
untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Satu-satunya
Negara
yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda.
Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta
tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang
menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan
eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat
digolongkan eutanasia pasif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Euthanasia
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan
thanatos, yang berarti “kematian”. Menurut istilah kedokteran,
euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami
seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang
yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
2.2 Macam
Macam Euthanasia
2.2.1
Euthanasia ditinjau dari sudut praktik/cara pelaksanaanya :
2.2.1.1 Euthanasia aktif/agresif
Euthanasia
aktif adalah tindakan dokter atau tenaga kesehatan lainuntuk mempercepat
kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan
diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah
sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin
lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter
adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan
pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.
Contoh
euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,
dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya
obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus, memberi tablet
sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien. menghentikan
pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.
Eutanasia
agresif,
disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau
mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian
suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah
satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
2.
Euthanasia Pasif
Adapun
euthanasia pasif, adalah tindakan dokter atau tenaga kesehatan lain menghentikan
pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak
mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat
kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan
ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan
sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah
tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia
pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang
menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter
umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi
membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.
Contoh
euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan
untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika
tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika
pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat,
dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga
pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut
peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.
Menurut
Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter
menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu
sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak
pidana di negara mana pun.
Eutanasia
pasif
dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan
seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa
contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang
mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada
penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya
dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang
rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.
Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan
rumah sakit.
3. Auto
euthanasia/non agresif
Seorang
pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan dia
mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto
euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Eutanasia
non agresif,
kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai
eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan
dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa
penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut
diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan
tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik
eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
2.2.2 Eutanasia ditinjau dari sudut pembuat
keputusan/pemberi izin :
a.
Voluntary euthanasia/euthanasia sukarela jika yang membuat keputusan
adalah orang yang sakit
b. Involuntary euthanasia/euthanasia
secara tidak sukarela jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga atau
dokter karena pasien mengalami koma medis.
c.
Assisted suicide Tindakan
ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk menghilangkan
rasa putus asa dengan bunuh diri.
d.
Tindakan langsung menginduksi kematian Alasan tindakan ini adalah
untuk meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan dan pihak
yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak
berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.
e.
Euthanasia diluar kemauan pasien yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan
dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini
dapat disamakan dengan pembunuhan.
2.2.3
Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
:
1. Eutanasia berdasarkan belas kasihan (mercy
killing): Eutanasia jenis ini, dilakukan atas dasar rasa kasihan kepada sang pasien, umumnya eutanasia
jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit yang amat sangat
dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-orang disekitarnya menjadi tidak tega
dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. Selain itu juga pada kondisi ekonomi
keluarga.
2. Eutanasia hewan: Sesuai dengan namanya,
eutanasia jenis ini, khusu dilakukan kepada hewan, biasanya beberapa hewan
peliharaan yang sudah tua dan menderita sakit berkepanjangan, membuat si
pemilik tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. Pada kasusyang
lain, beberapa kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal, maka
barang-barang kesayangannya harus diikutkan ke dalam kubur, termasuk
hewan-hewan kesayangannya, sehingga sebelum hewan tersebut dikuburkan umumya
mereka di suntik mati terlebih dahulu.
3. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter:
Adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela. Dilakukan atas
persetujuan sang pasien sendiri.agresif sukarela.
2.2.4 Pendapat Frans Magnis Suseno membedakan 4
arti euthanasia mengikuti J.Wundeli yaitu:
ü Euthanasia murni : usaha untuk
memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya.Kedalamnya
termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati
dengan baik.Euthanasia ini tidak menimbulkan masalah apapun
ü Euthanasia tidak langsung:usaha
memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien mungkin mati dengan
lebih cepat.Di sini kedalamnya termasuk pemberian segala macam obat
narkotik,hipnotik dan analgetika yang mungkin de facto dapat memperpendek
kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.
ü Euthanasia pasif :tidak
dipergunakannya semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia
untuk memperpanjang kehidupan
ü Euthanasia aktif: proses kematian diperingan
dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung.Ini yang disebut
sebagai “mercy killing”.Dalam euthanasia aktif masih perlu dibedakan pasien
menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana keinginanya dapat di
ketahui.
2.3 PANDANGAN TENTANG EUTHANASIA
2.3.1
Menurut syariah islam
merupakan
syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan
tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif.
1. Euthanasia Aktif
Syariah
Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu
untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil
dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT :
....... و لا تقتلوا النفس التي حرم
الله إلا بالحق.... الآية.(الأنعام:151)
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
و ما كان لمؤمن أن يقتل
مؤمنا إلا خطأ.... الآية. (النساء: 92)
“Dan
tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
.......و لا تقتلوا أنفسكم إن الله
كان بكم رحيما.... الآية. (النساء: 29)
“Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).[6]
Tindakan
itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter
yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan,
menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
يا ايها الذين آمنوا كتب
عليكم القصاص في القتلى.... الآية.(البقرة: 178)
“Telah
diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
(QS Al-Baqarah : 178)
Namun
jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan),
qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta
diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman
Allah SWT :
....... فمن عفي له من أخيه شيء
فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان .... الآية.(البقرة: 178)
“Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS
Al-Baqarah : 178)
Diyat
untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di
antaranya dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan
30 ekor berumur 4 tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i.[7]
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka
diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25
gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham =
2,975 gram perak).
Dengan
mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan
manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan
dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu
musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan
duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan
musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
“Telah
ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka,
lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan
pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka
Allah berfirman : hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku
mematikan. Aku mengharamkan surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).[8]
2. Euthanasia Pasif
Adapun
hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban
untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat
(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau
makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama,
mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun
sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama
Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.[9]
Dasar
dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah
SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan
penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad,
dari Anas RA)
Hadits
di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu
Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li
ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul
:
الأصل في الأمر للطلب
“Perintah
itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”
Jadi,
hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu
tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah
yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas
tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di
antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan
hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena
penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah
kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu
bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah
agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,”
lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku
kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi
SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits
di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir
ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah,
bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub),
bukan wajib.
Dengan
demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk
dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini
hukumnya sunnah, maka jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah
mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti
menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya
penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang
hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak
memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ
vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan
kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak
berfungsi.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah
sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu,
hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut
alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya
boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat
tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan
tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.
Namun
untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan
mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib
diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).
Dokter
bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu
memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan
putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan.
2.3.2
Menurut Aspek Medis
Dalam
bidang kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema yang menempatkan seorang
dokter dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti kematian yang
membahagiakan atau mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangannya
pengertian ini berkembang menjadi pembunuhan atau pengakhiran hidup karena
belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati secara
menyenangkan (mercy death).
Selain
tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan semua
perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus
menyadari bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan
masalah teknis-medis lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika
Kedokteran, euthanasia tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab
II (1969)Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien,
disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik
kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit
meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi
apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan
fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati
walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus
diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara
keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan
dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien,
kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian,
dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri
penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.
2.3.3 Menurut Aspek Hukum
Dari
sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah euthanasia melalui beberapa pasal
khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai “pasal euthanasia”. Pasal ini
berbunyi “barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya 12 tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau
tidak melakukan suatu tindakan medis (euthanasia pasif), dokter dapat dituntut
berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:
“barang
siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan
sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,
diancam dengan pidana penjara....”.
Sebaliknya
jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa
dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan
“barangsiapa sengaja mendorong orang lain
untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana
kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang
itu jadi bunuh diri.”
Undang
undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku
utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu
pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.
Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut.
Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau
rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.
Di
Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada
pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang
euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal
keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal
yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka
satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang
terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab
undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika
ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang
hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.
Pasal
304 KUHP
Barang
siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam
kesengsaraan,sedang ia wajib memberikan kehidupan,perawatan atau pemeliharaan
pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut
perjanjian,dihukum penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak empat ratus ribu rupiah.
Catatan.
Isi
pasal di atas mirip dengan tindakan euthanasia pasif dimana ancaman pidananya
lebih tinggi apabila orang yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia seperti
yang diatur dalam pasal 306 KUHP ayat 2.
Pasal
304 dan pasal 306 KUHP merupakan ketentuan yang di atur dalam bab XV KUHP
tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong.
Pasal
306 KUHP
Kalau
salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304 mengakibatkan orang
mati,sitersalah itu dihukum penjarapaling lama 9 tahun.
Pasal
344 KUHP:
Barangsiapa
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan
ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan
kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau
memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk
jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah
ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:
Pasal
338 KUHP:
Barangsiapa
dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal
340 KUHP:
Barangsiapa
dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau
penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh
tahun.
Pasal
359 KUHP:
Barang
siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya
lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya
di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:
Pasal
345 KUHP:
Barang
siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum
penjara selama-lamanya empat tahun.
Kalau
diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam
KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk
undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa
manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap
perbuatan apapun motif dan macamnya
sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia,
maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah
suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit
dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin
oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.
2.3.4
Menurut Aspek Hak Asasi
Hak
asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi
tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya
justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari
aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam
euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya,
secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila
dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas
lagi dari segala penderitaan yang hebat.
2.3.5 Menurut Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan
kedokteran
dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk
mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu
kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan. Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan
sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa
kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
2.4 Dampak
Euthanisia
Desas-desus
di kalangan pasien akan euthanasia ini mengakibatkan :
• Sudut pandang Pasien
tidak
memiliki semangat untuk berjuang melawan penyakitnya dan mudah putus asa
• Sudut pandang Keluarga Pasien
aspek
kemanusiaan kasihan dan ekonomi sehingga memutuskan untuk melakukan euthanasia
2.5
Kewajiban perawat dalam kasus
euthanasia
a. memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan
dasarnya
b. membantu proses adaptasi klien terhadap
penyakit / masalah yang sedang dihadapinya
c. mengoptimalkan system dukungan
d. membantu klien untuk menemukan mekanisme
koping yang adaptif terhadap masalah yang telah dihadapi
e. membantu klien untuk lebih mendekatkan
diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan keyakinannya.
BAB III
ANALISA KELOMPOK
Euthanasia secara
moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika Islam karena hal ini
menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia sekaligus telah membuat manusia
dapat menentukan kematiannya sendiri, sedangkan seperti kita ketahui bahwa
Allah yang menciptakan manusia dan Dia pula yang berkenan atas hidup manusia
sehingga yang berhak untuk menentukan dan mengambil hidup manusia (kematian)
adalah Allah sendiri.
Sering banyak orang
menjadi salah persepsi bahwa euthanasia itu baik unutuk dilakukan karena
merupakan perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata keliru, sebab
tidak mungkin Tuhan mengajarkan manusia untuk saling mengasihi bila pada
akhirnya manusia jualah yang membunuh mereka, jika itu kita tetap lakukan maka
kita sama dengan orang yang tidak percaya Tuhan.
Jika kita memang
berpikir dan melakukan hal semacam itu, kita sama dengan mengtuhankan diri kita
sendiri sebagai ‘Tuhan’ yang dapat menentukan hidup atau matinya orang ini. Ini
merupakan tindakan dan pola pikir yang salah dari pihak yang mendukung
Eutanasia sebab seperti yang kita ketahui bahwa setiap manusia tidak memiliki
hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan
mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Selain itu, salah
satu alasan mengapa melakukan euthanasia adalah ketika suatu keluarga merasakan
ketidaksanggupannya dalam membayar biaya perawatan untuk si penderita dan
membiarkannya hidup hanyalah membuang-buang uang saja. Apakah nilai kehidupan
ini bisa dibayarkan oleh sejumlah uang? Hidup dan mati seseorang tidak dapat
diukur dengan uang, karena kehidupan kita lebih berharga daripada uang atau
apapun juga, uang itu berasal dari hidup kita dan kita yang menghasilkan uang,
uang itu bisa saja habis dan musnah karena dipakai atau digunkan oleh kita,
namun Tuhan Allah menciptakan kita didunia ini untuk hidup bukan untuk mati.
Seseorang yang
menderita penyakit yang sudah tak ada harapan lagi tersebut sebenarnya tidak
pernah ingin menghadapi situasi seperti itu, dan ketika pihak keluarga ingin
melakukan euthanasia, maka keputusan ini hanya akan mempengaruhi kondisi
psikologis pasien. Karena ketika ia diperhadapkan pada pilihan hidup atau mati,
dan orang-orang sekitarnya lebih ingin ia untuk mati, maka pasien tersebut akan
merasa tertolak oleh keluarga dan kondisinya akan semakin parah karena depresi.
Sebenarnya, jika memang merasa kasihan, tindakan kasihan itu tidaklah dilakukan
dengan cara menghabisi hidupnya. Karena kasih sayang itu bukan dengan cara
membunuh.
Euthanasia ini dapat
dilakukan dengan cara memberhentikan alat-alat medis yang fungsinya menunjang
kehidupan pasien. Menurut kami, mengapa alat yang menunjang tersebut harus
dilepas dari pasien kalau kehidupannya bisa didukung dengan alat tersebut?
Alat-alat yang dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati dan itu sama saja
dengan membunuhnya, sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas selama alat itu
masih menunjang diri pasien tersebut untuk hidup. Mengenai birokrasi rumah
sakit yang sering kali menunda tindakan penyembuhan jika administrasinya belum
selesai, menurut kami hal tersebut bukanlah tindakan euthanasia, karena
euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang disengaja agar tidak merasakan
sakit, sedangkan penundaan tindakan pengobatan oleh rumah sakit, bukanlah
bertujuan untuk memberikan kematian yang “nyaman”. Masalahnya disini adalah
dokter belum bertanggungjawab atas pasien sebelum pasien tersebut sudah berada
didepannya, jadi selagi pasien masih berurusan dengan birokrasi rumah sakit,
pasien masih tanggungan keluarga. Untuk mengurangi hal-hal seperti ini,
pemerintah Indonesia harus semakin ketat terhadap peraturan hukum yang terdapat
pada pasal 304 dan 344 KUHP, dimana penundaan pengobatan akibat administrasi
yang belum selesai yang adalah suatu tindakan yang disengaja, bisa berkurang.
Seharusnya, administrasi bisa dilakukan setelah pasien ditangani agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Jadi menurut kami, euthanasia
merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak bermoral. Jika euthanasia
dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu menyadari bahwa tidak seorang
pun yang dapat menentukan kematianya. Secara tidak langsung permintaan tersebut
sama dengan bunuh diri. Jika euthanasia dilakukan dengan alasan untuk
mengurangi beban penderitaan pasien atau alasan ekonomi keluarga yang tidak mampu,
tentu saja hal ini melanggar hak asasi si pasien. Pengakhiran kehidupan tanpa
sepengetahuan pasien sudah termasuk dalam kategori tindak pidana pembunuhan.
Sesuai dengan sumpahnya, seorang dokter seharusnya berusaha untuk
mempertahankan kehidupan pasien sampai batas akhir kesanggupannya. dalam kode
etik kedokteran (1969) juga dinyatakan bahwa dokter harus mengerahkan
kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup,
tetapi tidak dengan cara mengakhiri hidup si pasien.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia tidak boleh
dilakukan didunia Kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal
tersebut melanggar Kode Etik Kedokteran dan melanggar KUHP didalam masyarakat. Disamping fakta bahwa Euthanasia itu dapat
membantu masayarakat dalam memiliki hak dan kewajiban untuk mengakhiri
kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak berpengharapan. Akan
tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan juga adalah bahwa
tindakan Euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan dan mencabut
hak hidup seseorang. Karena belum tentu orang-orang yang berada dalam kesakitan
yang hebat dan menginginkan kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang
dikehendakinya. Sebagai manusia yang berpikir kritis kita harus ingat bahwa
kita adalah manusia ciptaan Tuhan, yang telah diberikan akal dan budi agar
mampu mengembangkan secara maksimal apa yang telah diberikanNya kita dengan
kreatif dan mampu mengatur diri kita sehingga tidak menyalahgunakan apa yang
telah diberikanNya kepada kita untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung
jawab yang bertentangan dengan moral dan etika, seperti membunuh orang dengan
cara apapun.
Oleh
karena itu, kita sebagai manusia yang memiliki Critical Thinking, kita perlu
menolak Euthanasia ini, sebab ketika kita menyetujui hal ini, kita sama saja
dengan orang yang tidak beragama dan tidak memiliki moral serta etika yang baik
yang menginginkan kematian dan pembunuhan terhadap orang lain.
4.2 SARAN
1.
Bagi keluarga
Keluarga
sebaiknya memikirkan kembali keputusan untuk mengajukan euthanasia. Dan
permasalahan biaya agar mencari alternatif keringanan biaya melalui Jamkesmas,
Jamkesda dll.
2.
Bagi Petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya)
Tetap
memberikan perawatan terbaik kepada pasien selama dirawat, memberikan
perlindungan kepada pasien sebagai advokat.
3.
Bagi Pemerintah
Apabila
hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu
materi pembahasan, semoga teap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai
etika, social maupun moral.
0 komentar:
Posting Komentar