RSS

Makalah Euthanasia



BAB I
PENDAHULUAN
1.1          LATAR BELAKANG MASALAH
Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial, sehingga melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro dan kubu yang kontra.
Di dalam Al qur’an surat Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan manusia terhadap Tuhan. Untuk melindungi keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma hukum perdana dan perdata beserta sangsi – sangsi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman had dan qisas termasuk : hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir,yakni hukuman yang ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan, maupun hukuman di akhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak. Karena hidup dan mati ditangan Tuhan, maka islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.[1]
كل نفس ذائقة الموت ...... الآية (آل عمران:185)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”
Istilah eutanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya yang berjudul sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun 400-300 SM. Dalam supahnya tersebut Hippokrates menyatakan; "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dari dokumen tertua tentang eutanasia di atas, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan oleh Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek eutanasia. Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di Negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa Negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Satu-satunya Negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.





















BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Konsep Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.

2.2       Macam Macam Euthanasia
2.2.1 Euthanasia ditinjau dari sudut praktik/cara pelaksanaanya :
     2.2.1.1    Euthanasia aktif/agresif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter atau tenaga kesehatan lainuntuk mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien. menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.
Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
     2.        Euthanasia Pasif
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter atau tenaga kesehatan lain menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.
Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.

     3.        Auto euthanasia/non agresif
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.

2.2.2   Eutanasia ditinjau dari sudut pembuat keputusan/pemberi izin :
a. Voluntary euthanasia/euthanasia sukarela jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit
  b. Involuntary euthanasia/euthanasia secara tidak sukarela jika yang membuat keputusan  adalah orang lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
c. Assisted suicide Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
d. Tindakan langsung menginduksi kematian Alasan tindakan ini adalah untuk meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan dan pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.
e. Euthanasia diluar kemauan pasien yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.

2.2.3   Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan :
1.    Eutanasia berdasarkan belas kasihan (mercy killing): Eutanasia jenis ini, dilakukan atas dasar   rasa kasihan kepada sang pasien, umumnya eutanasia jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit yang amat sangat dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-orang disekitarnya menjadi tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. Selain itu juga pada kondisi ekonomi keluarga.
2.    Eutanasia hewan: Sesuai dengan namanya, eutanasia jenis ini, khusu dilakukan kepada hewan, biasanya beberapa hewan peliharaan yang sudah tua dan menderita sakit berkepanjangan, membuat si pemilik tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. Pada kasusyang lain, beberapa kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal, maka barang-barang kesayangannya harus diikutkan ke dalam kubur, termasuk hewan-hewan kesayangannya, sehingga sebelum hewan tersebut dikuburkan umumya mereka di suntik mati terlebih dahulu.
3.    Eutanasia berdasarkan bantuan dokter: Adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela. Dilakukan atas persetujuan sang pasien sendiri.agresif sukarela.

2.2.4  Pendapat Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti J.Wundeli yaitu:
ü  Euthanasia murni : usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya.Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik.Euthanasia ini tidak menimbulkan masalah apapun
ü  Euthanasia tidak langsung:usaha memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat.Di sini kedalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik,hipnotik dan analgetika yang mungkin de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.
ü   Euthanasia pasif :tidak dipergunakannya semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan
ü   Euthanasia aktif: proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung.Ini yang disebut sebagai “mercy killing”.Dalam euthanasia aktif masih perlu dibedakan pasien menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana keinginanya dapat di ketahui.

2.3   PANDANGAN TENTANG EUTHANASIA
2.3.1 Menurut syariah islam
merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
1.      Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
....... و لا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق.... الآية.(الأنعام:151)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
و ما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خطأ.... الآية. (النساء: 92)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
.......و لا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما.... الآية. (النساء: 29)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).[6]
Tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى.... الآية.(البقرة: 178)
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT : 
....... فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان .... الآية.(البقرة: 178)
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i.[7] Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak).
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
“Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman : hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).[8]

2.      Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[9]
Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
الأصل في الأمر للطلب
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, maka jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).
Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan.

2.3.2 Menurut Aspek Medis
Dalam bidang kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema yang menempatkan seorang dokter dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti kematian yang membahagiakan atau mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangannya pengertian ini berkembang menjadi pembunuhan atau pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy death).
Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus menyadari bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah teknis-medis lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969)Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.

2.3.3    Menurut Aspek Hukum
Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah euthanasia melalui beberapa pasal khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai “pasal euthanasia”. Pasal ini berbunyi “barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan suatu tindakan medis (euthanasia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:
“barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara....”.
Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan
 “barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.
Pasal 304 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan,sedang ia wajib memberikan kehidupan,perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian,dihukum penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ratus ribu rupiah.
Catatan.
Isi pasal di atas mirip dengan tindakan euthanasia pasif dimana ancaman pidananya lebih tinggi apabila orang yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia seperti yang diatur dalam pasal 306 KUHP ayat 2.
Pasal 304 dan pasal 306 KUHP merupakan ketentuan yang di atur dalam bab XV KUHP tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong.
Pasal 306 KUHP
Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304 mengakibatkan orang mati,sitersalah itu dihukum penjarapaling lama 9 tahun.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:
Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP:             
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:
Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan  apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.

2.3.4 Menurut Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

2.3.5    Menurut Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan. Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

2.4       Dampak Euthanisia
Desas-desus di kalangan pasien akan euthanasia ini mengakibatkan :
    Sudut pandang Pasien
                tidak memiliki semangat untuk berjuang melawan penyakitnya dan mudah putus asa
    Sudut pandang Keluarga Pasien
aspek kemanusiaan kasihan dan ekonomi sehingga memutuskan untuk melakukan euthanasia

2.5       Kewajiban perawat dalam kasus euthanasia
a.       memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
b.      membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang dihadapinya
c.       mengoptimalkan system dukungan
d.      membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang telah dihadapi
e.       membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan keyakinannya.








BAB III
ANALISA KELOMPOK
Euthanasia secara moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika Islam karena hal ini menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia sekaligus telah membuat manusia dapat menentukan kematiannya sendiri, sedangkan seperti kita ketahui bahwa Allah yang menciptakan manusia dan Dia pula yang berkenan atas hidup manusia sehingga yang berhak untuk menentukan dan mengambil hidup manusia (kematian) adalah Allah sendiri.
Sering banyak orang menjadi salah persepsi bahwa euthanasia itu baik unutuk dilakukan karena merupakan perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata keliru, sebab tidak mungkin Tuhan mengajarkan manusia untuk saling mengasihi bila pada akhirnya manusia jualah yang membunuh mereka, jika itu kita tetap lakukan maka kita sama dengan orang yang tidak percaya Tuhan.
Jika kita memang berpikir dan melakukan hal semacam itu, kita sama dengan mengtuhankan diri kita sendiri sebagai ‘Tuhan’ yang dapat menentukan hidup atau matinya orang ini. Ini merupakan tindakan dan pola pikir yang salah dari pihak yang mendukung Eutanasia sebab seperti yang kita ketahui bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Selain itu, salah satu alasan mengapa melakukan euthanasia adalah ketika suatu keluarga merasakan ketidaksanggupannya dalam membayar biaya perawatan untuk si penderita dan membiarkannya hidup hanyalah membuang-buang uang saja. Apakah nilai kehidupan ini bisa dibayarkan oleh sejumlah uang? Hidup dan mati seseorang tidak dapat diukur dengan uang, karena kehidupan kita lebih berharga daripada uang atau apapun juga, uang itu berasal dari hidup kita dan kita yang menghasilkan uang, uang itu bisa saja habis dan musnah karena dipakai atau digunkan oleh kita, namun Tuhan Allah menciptakan kita didunia ini untuk hidup bukan untuk mati.
Seseorang yang menderita penyakit yang sudah tak ada harapan lagi tersebut sebenarnya tidak pernah ingin menghadapi situasi seperti itu, dan ketika pihak keluarga ingin melakukan euthanasia, maka keputusan ini hanya akan mempengaruhi kondisi psikologis pasien. Karena ketika ia diperhadapkan pada pilihan hidup atau mati, dan orang-orang sekitarnya lebih ingin ia untuk mati, maka pasien tersebut akan merasa tertolak oleh keluarga dan kondisinya akan semakin parah karena depresi. Sebenarnya, jika memang merasa kasihan, tindakan kasihan itu tidaklah dilakukan dengan cara menghabisi hidupnya. Karena kasih sayang itu bukan dengan cara membunuh.
Euthanasia ini dapat dilakukan dengan cara memberhentikan alat-alat medis yang fungsinya menunjang kehidupan pasien. Menurut kami, mengapa alat yang menunjang tersebut harus dilepas dari pasien kalau kehidupannya bisa didukung dengan alat tersebut? Alat-alat yang dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati dan itu sama saja dengan membunuhnya, sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas selama alat itu masih menunjang diri pasien tersebut untuk hidup. Mengenai birokrasi rumah sakit yang sering kali menunda tindakan penyembuhan jika administrasinya belum selesai, menurut kami hal tersebut bukanlah tindakan euthanasia, karena euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang disengaja agar tidak merasakan sakit, sedangkan penundaan tindakan pengobatan oleh rumah sakit, bukanlah bertujuan untuk memberikan kematian yang “nyaman”. Masalahnya disini adalah dokter belum bertanggungjawab atas pasien sebelum pasien tersebut sudah berada didepannya, jadi selagi pasien masih berurusan dengan birokrasi rumah sakit, pasien masih tanggungan keluarga. Untuk mengurangi hal-hal seperti ini, pemerintah Indonesia harus semakin ketat terhadap peraturan hukum yang terdapat pada pasal 304 dan 344 KUHP, dimana penundaan pengobatan akibat administrasi yang belum selesai yang adalah suatu tindakan yang disengaja, bisa berkurang. Seharusnya, administrasi bisa dilakukan setelah pasien ditangani agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
            Jadi menurut kami, euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak bermoral. Jika euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu menyadari bahwa tidak seorang pun yang dapat menentukan kematianya. Secara tidak langsung permintaan tersebut sama dengan bunuh diri. Jika euthanasia dilakukan dengan alasan untuk mengurangi beban penderitaan pasien atau alasan ekonomi keluarga yang tidak mampu, tentu saja hal ini melanggar hak asasi si pasien. Pengakhiran kehidupan tanpa sepengetahuan pasien sudah termasuk dalam kategori tindak pidana pembunuhan. Sesuai dengan sumpahnya, seorang dokter seharusnya berusaha untuk mempertahankan kehidupan pasien sampai batas akhir kesanggupannya. dalam kode etik kedokteran (1969) juga dinyatakan bahwa dokter harus mengerahkan kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tetapi tidak dengan cara mengakhiri hidup si pasien.










BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1    KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia tidak boleh dilakukan didunia Kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal tersebut melanggar Kode Etik Kedokteran dan melanggar KUHP didalam masyarakat.  Disamping fakta bahwa Euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki hak dan kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak berpengharapan. Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan juga adalah bahwa tindakan Euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan dan mencabut hak hidup seseorang. Karena belum tentu orang-orang yang berada dalam kesakitan yang hebat dan menginginkan kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang dikehendakinya. Sebagai manusia yang berpikir kritis kita harus ingat bahwa kita adalah manusia ciptaan Tuhan, yang telah diberikan akal dan budi agar mampu mengembangkan secara maksimal apa yang telah diberikanNya kita dengan kreatif dan mampu mengatur diri kita sehingga tidak menyalahgunakan apa yang telah diberikanNya kepada kita untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan moral dan etika, seperti membunuh orang dengan cara apapun.
Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang memiliki Critical Thinking, kita perlu menolak Euthanasia ini, sebab ketika kita menyetujui hal ini, kita sama saja dengan orang yang tidak beragama dan tidak memiliki moral serta etika yang baik yang menginginkan kematian dan pembunuhan terhadap orang lain.
4.2       SARAN
1. Bagi keluarga
Keluarga sebaiknya memikirkan kembali keputusan untuk mengajukan euthanasia. Dan permasalahan biaya agar mencari alternatif keringanan biaya melalui Jamkesmas, Jamkesda dll.
2. Bagi Petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya)
Tetap memberikan perawatan terbaik kepada pasien selama dirawat, memberikan perlindungan kepada pasien sebagai advokat.
3. Bagi Pemerintah
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga teap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai etika, social maupun moral.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Flame